Senin, 21 April 2014

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK



PENGAKUAN TERHADAP HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

MAKALAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK TUGAS PADA MATA KULIAH HOKUM DAN HAK ASASI MANUSIA



Dosen Pembimbing:
                                                  A. Kahar Maranjaya SH. MH
Disusun Oleh:
Burhan 2012207014

JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2013/2014

Latar Belakang
            Sejarah perjalanan kehidupan manusia tidak terlepas dari penindasan dan penistaan oleh se sama manusia, satu sama lain saling menindas dan menghancurkan. Bahkan di abat ke dua puluh satu ini hal demikian masih kerap terjadi walaupun bentuk dari penindasan dan penghancuran tersebut lebih halus atau samar-samar dan bersifat masif. Parahnya lagi penindasan dan penghancuran tersebut dilakukan oleh oknum pemerintah dan dilegalkan.
            Bentuk dan pelaku penindasan dari zaman ke zaman terus berkembang. Pada abad sebelum masehe sebelum manusia mengenal sistem pemerintahan, penindasan dilakukan oleh se sama manusia, individu perindividu, seperti yang dilakukan oleh Qobil anaknya nabi adam terhadap saudaranya Habil [1], yang mana Qobil membunuh adiknya Habil. Kemudian penindasan dan penistaan terhadap se sama manusia terus berkembang, kalu dimasa awal-awal manusia dilakukan oleh individu terhadap individu yang lain, pelaku penindasan dilakukan oleh seorang raja yang berkuasa, skala dan bentuk penindasannya pun lebih sadis, seorang raja berbuat sewenang-wenang terhadap rakya yang dipimpinnya, seperti menyiksa, mengambil harta bendanya, dan kemudian membunuhnya dengan sadis, seperti yang dilakukan Fir’aun terhadap rakyatnya, bagaimana dia menindas dan membunuh rakyatnya[2]. Skalanya pun melua tidak hanya satu orang tapi bisa satu kampung bahkan satu wilayah negara, seperti yang dilakukan oleh Raja Richard yang mempunyai julukan the lion heart, di merupakan raja inggris yang memimpin perang salib dalam perebutan kota yerussalem, dimana dalam perang tersebut kota yerussalem dipenuhi dengan genangan darah para tentara dan penduduk yerussalem[3].
            Di abad modern zaman sekarang, penindasan dan penistaan terhadap se sama manusia masih terus berlangsung dengan bentuk yang lebih halus dan bersifat masif. Pada zaman demokrasi seperti sekarang ini penindasan dan penghancuran terhadap rakyat terus berlangsung dengan berbagi bentuk dan modus operandinya semakin canggih. Akan tetapi pelakunya tetap sama dengan zaman kerajaan yaitu Negara atau pemerintah. Bentuk penindasan yang dilakukan oleh pemerintah seperti pelarang berpolitik terhadap masyarakat tertentu oleh negara, pencegahan bepergian keluar negeri, dan pembunuhan dengan tampa alasan yang dilakukan oleh lembaga negara tertentu. Nama terhadap tindakan-tindakan semacam itu, penindasan, penghancuran, dan pembunuhan pada abad sekarang disebut dengan pelnggaran HAM.
            Oleh karena banyaknya pelanggaran HAM terhadap kaum yang lemah atau rakyat  yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pelarangan berpolitik, pelarangan membangun dan bertempat tinggal oleh pemerintah, dan pelarangan bergeliria untuk menjelajahi permukaan bumi, maka negara-negara yang tergabung dalam United Nation atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengadakan deklarasi PBB tentang hak asasi manusia atau universal declaration of human right, yang kemudian disusul dengan konvensi internasional hak-hak asasi manusia pada tahun 1966 yang dikenal dengan Covenan International Hak-hak Sipil dan Politik untuk mempertegas dan merinci deklarasi PBB tersebut.













KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK
            Covenan internasional Hak-Hak sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, yang dirativikasi oleh negara indonesia dengan undang-undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Latar belakang lahirnya covenan internasional Hak-hak sipil dan politik (International Covenant On Civil And Political Rights) merupakan tindak lanjut dari deklarasi Hak Asasi Manusia perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) atau universal declaration of human right tahun  1948, yang kemudian dikenal dengan DUHAM. Covenan internasional hak-hak sipil dan politik dimaksudkan untuk lebih merinci lagi apa yang telah dideklarasikan tentang HAM. Karena pada dasarnya deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 hanya memuat pokok-pokok atau dasar-dasar dari hak asasi manusia.
Masyarakat internasional merasa perlu untuk menjabarkan hak-hak dan kebebasan dasar yang telah dinyatakan oleh DUHAM kedalam instrument internasional yang dapat mengikat secara hokum. Oleh karena itu dewan PBB membentuk panitia khusus untuk membuat dan mempersiapkan covenan hak-hak asasi manusia beserta dewan pelaksananya, panitia khusu tersebut adalah komisi hak asasi manusia (KHAM) yang sebelumnya telah bertugas untuk menyiapkan deklarasi PBB tentang HAM. Komisi ini resmi melaksanakan tugasnya pada tahun 1949 untuk menyiapkan draf dan hal-hal lainnya berkaitan dengan hak asasi manusia.
Ada dua covenan yang dipersiapkan oleh komisi hak asasi manusia dari tahun 1949, yang pertama adalah covenan yang berhubungan dengan hak kebebasan sipil dan politik, kemudian yang kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung, covenan tersebut ditetapkan melalui resolusi PBB tahun 1950. Kemudian pada tahun 1950 majelis umum PBB mulai bersidang membahas kedua covenan tersebut untuk disempurnakan sampai tahun 1954 karena dalam siding umum PBB tersebut banyak terjadi perdebatan antar pihak. Kemudian tahun 1954 majelis umum PBB mempublikasikan hasil sidang tersebut kepada public.
Ke dua kovenan tersebut memakan waktu lama dalam proses penyempurnaannya, pembahasannya dalam majelis umum PBB di mulai sesuai jadwal yang ditentukan dalam deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yaitu pada tahun 1949. Namun baru pada tanggal 1966 kedua covenan tersebut y, covenan tentang hak-hak sipil dan politik dan hak-hak ekonomi, social dan budaya dapat disahkan tepatnya pada tanggal 16 Desember tahun 1966 dan berlaku pagi para pihak yang menandatangani covenan tersebut.
Posisi Indonesia yang merupakan Negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yang juga mempunyai kometmen untuk menegakkan dan melaksanakan ketentuan-ketuan hak asasi manusia (HAM) menjadi pihak dalam convensi internasional tersebut dan merativikasinya menjadi undang-undang No 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights  (Kovenan Internasional Tentang  Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Dalam perkembangannya, covenan internasional hak-hak sipil dan politik banyak mengandung kontroversi di berbagai negara, khususnya negara yang banyak terjadinya konflik, seperti indonesia, Thailand, dan syuria. Karena covenan internasional hak-hak sipil dan politik ini sering dijadikan dasar pembenar oleh para pemberontak disuatu negara untuk melancarkan aksinya, seperti GAM (gerakan aceh merdeka), OPM (organisasi papua merdeka), RMS (republik maluku selatan), DI/TI (darul islam indonesia/tentara islam inonesia).










POKOK-POKOK COVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK
            Ada beberapa ketentuan pokok yang diatur dalam covenan intrnasional hak-hak sipil dan politik.
1.      Tentang hak suatu bangsa untuk menetukan nasibnya sendiri, sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 ayat bagian 1 bahwa, Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Dengan begitu tidak boleh lagi ada bangsa yang menjajah dan mengintervensi Negara lain dalam menetukan nasibnya.
2.      Hak suatu bangsa atau Negara untuk mengurangi kewajiban-kewajiban rakyatnya dalam keadaan darurat, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 bagian ke 2 bahwa, Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi2 kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal- usul sosial.
3.      Hal pokok yang selanjutnya adalah hak-hak individu, sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 sampai pasal 27, seperti yang termaktub dalam pasal 6 ayat 6 bagian ke 3 bahwa, Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
4.      Hal pokok selanjutnya adalah Kewajiban-kewajiban Negara, sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 sampai pasal 45 bagian ke-4. Seperti yang tercantum dalam pasal 28 ayat 1 bagian ke-4 bahwa, Harus dibentuk Komite Hak Asasi Manusia (dalam Kovenan ini selanjutnya akan disebut sebagai Komite). Komite harus terdiri dari delapan belas anggota dan bertugas melaksanakan fungsi-fungsi yang diatur di bawah ini.
Jadi ada empat ketentuan pokok yang diatur dalam covenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang disahkan tanggal 16 desember tahun 1966 dan ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI).



















CONTROVERSI COVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK
            Sebagiamana yang telah disebutkan diatas bahwa konvensi hak-hak sipil dan politik ini benyak menimbulkan permasalahan di berbagai Negara khususnya di Indonesia. Di antara pasal yang controversial tersebut adalah pasal 1 ayat 1 bagian1 yang mengatakan bahwa, “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka”. Ketentuan ini banyak menimbulkan permasalahan oleh karena kata-kata “Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri”, dengan frasa tersebut banyak gerakan separatis melandaskan perjuangannya, sehingga mereka merasa legal melakukan dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
            Sebenarnya, penafsiran demikian bertentangan dengan deklarasi wina tahun 1993, disebutkan dalam resolusi PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Bangsa Kolonial, menegaskan bahwa “Setiap upaya gangguan sebagian atau seluruh kesatuan Nasional dan teritorial integritas suatu Negara adalah tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Sehingga penafsiran kelompok separatis yang mengatakan bahwa dirinya berhak untuk menentukan nasib sendiri karena telah ditentukan dalam covenan internasional hak-hak asasi sipil dan politik tidak bias dibenarkan dengan mengacu pada deklarasi wina tersebut.






KESIMPULAN
Deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948, yang kemudian lebih dirinci lagi dengan covenan internasional hak-hak sipil dan politik harus dilaksanakan dan konsekwen dalam pelaksanaannya oleh semua pihak baik bangsa dan mayarakat sipil pada umumnya, agar tercipta suatu kehidupan yang aman dan tentram di seluruh belahan dunia.
Kemudian tidak boleh lagi para individu atau kelompok menafsirkan covenan tersebut seenaknya saja sesuai dengan kepentingan pribadinya, harus taat terhadap ketentuan-ketentuan lain yang menupang kovenan tersebut.


[1] Kitab al-qur’an surat al-maa’idah ayat 27-31
[2] Kitab al-qur’an surat yunus ayat 92