“MEREVIEW
PUTUSAN MK” MUNGKINKAH?
Tertangkapnya Akil Muchtar Ex ketua Mahkamah Konstitusi
dalam kasus suap perkara pilkada berimplikasi terhadap ketidak percayaan kepada
hasil putusan Mahkamah Konstitusi, kecurigaan pun bermunculan dari berbagai
kalangan baik dari kalangan akademisi atau dari masyarakat biasa, setiap
putusan MK pasca penangkapan Akil Mukhtar tidak mendapatkan legitimasi lagi
dari masyarakat seiring dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradialan ini, puncak ketidak percayaan masyarakat terhadap mahkamah
konstitusi ketika terjadi pengrusakan di dalam ruang sidang MK yang disebabkan
ketidak percayaannya terhadap majlis MK terlepas dari apakah kerusuhan itu
direncanakan atau tidak.
Sehingga
tuntutan mereview kembali putusan Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Akil
Mukhtar wajar disuarakan dengan lantang disuarakan oleh berbagai pihak terutama
dari kalangan akademisi seperti Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang
mengharapkan agar Mahakamah Konstitusi mereview kembali putusannya. Pertanyaannya
apakah dimungkinkan mereview putusan Mahkamah Konstitusi? Jawaban dari
pertanyaan ini sangatlah sulit karena berkaitan dengan sistem peradilan dan
hukum yang berlaku di indonesia.
Pada perinsipnya penyelengaraan suatu lembaga peradilan
adalah untuk menegakkan keadilan dalam suatu negara seperti yang termaktub
dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945, sehingga hal-hal yang menghalangi penegakkan
keadilan itu harus dibasmi, bahkan jika hukum itu sendiri menghalangi
penegakkan keadilan maka itu harus dilanggar, seperti pepatah latin mengatakan
“Fiat justisia ruat coelum” meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan.
Bagaimana dengan kedudukan MK dalam sistem pemerintahan indonesia?
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang boleh dikatan
super body karena tidak ada lembaga lain yang bisa mengawasi kinerja dari para
hakim konstitusi, seperti yang dikatan oleh prof Yusril ihza mahendra para
hakim konstitusi seperti dewa yang menjaga konstitusi indonesia Sesuai dengan
pasal 24C ayat 1 UUD 1945, yang mana MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifal final dan mengikat (binding)
semua warga negara sejak diucapkan oleh hakim dalam sidang pleno terbuka,
sebagaimana yang dikatakan oleh Arsyad bahwa putusan MK bersifat erga omnes
yang artinya mengikat semua warga negara.
Kemudian bagaiman dengan putusan hakim khususnya hakim
Mahkamah Konstitusi yang terindikasi korupsi? Dalam setiap peradilan di dunia
tidak terkecuali indonesia seorang Hakim memiliki kedudukan yang merdeka yang
bebas dari intervensi pihak manapun dalam mengambil keputusan untuk memutus
perkara dalam persidangan, karena sudah menjadi asas hukum umum kekuasaan
kehakiman yang idantaranya kebebasan hakim dan keputusannya tidak bisa diganggu
gugat oleh siapapun kecuali lembaga peradilan yang ada diatasnya. Bagaiman
dengan peradilan konstitusi yang merupakan peradilan tingkay pertama dan
terakhir?
Menurut pandangan penulis mereview putusan mahkamah
konstitusi bisa saja dan boleh apabila hakim mahkamah konstitusi yang memutus
perkara tersebut nyata-nyata dan terbukti secara hukum melakukan pelanggaran
hukum yang berkenaan dengan perkara yang diputusnya walaupun belum ada dasar
hukum yang secara eksplisit mengaturnya. Penulis mendasarkan bahwa tujuan
pembentukan peradilan adalah untuk menciptakan keadilan bagi para pencari
keadilan, sehingga lembaga peradilan berusaha sedemikian rupa untuk menciptakan
keadilan mengenyampingkan peraturan demi tegaknya keadilan boleh saja dilakukan
oleh para hakim yang berwenang. Sebagaiman yang dikatakan oleh prof. Bismar
Siregar mantan ketua mahkamah agung bahwa hukum hanya sebuah alat untuk
menciptakan keadilan sehingga jangan sampai alat ini menghalangi terciptanya
keadilan andai kata ada cara atau alat lain untuk menciptakan keadilan maka
boleh saja seorang hakim memakai alat tersebut untuk menciptakan keadilan yang
merupakan tujuan dan tugas utama seoraang hakim.
Berkenaan dengan mereview putusan mahkamah konstitusi
yang terpenting disini pembuktian terlebih dahulu bahwa terhadap hakim yang
memutus perkara tersebut, bahwa hakim telah nyata-nyata dan terbukti melakukan
pelanggaran tindak pidana dalam memutus perkara tersebut, karena pada dasarnya
seorang hakim yang melakukan pelanggaran dalam memutus suatu perkara katakanlah
menerima suap dia tidak sedang berada dalam kebebasannya memutus perkara yang
merupakan prasyarat utama seorang hakim, akan tetapi dia berada dalam tekanan
dan penguasaan pihak lain, sehingga tidak mungkin dalam keadaan tersebut hakim
bisa memutus parkara dengan adil yang merupakan tujuan utama.
Asas kepastian hukum yang dijadikan dasar oleh para
penentang dilakukannya review terhadap putusan mahkamah konstitusi seharusnya
tidak bertentangan dengan asas keadilan yang menjadi dasar pembentukan hukum
dan tujuan hukum itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar